Musium Trinil Ngawi Jawa Timur. Trinil adalah situs paleoantropologi di
Indonesia yang sedikit lebih kecil dari situs Sangiran. Tempat ini
terletak di Desa Kawu, Kecamatan Kedunggalar, Kabupaten Ngawi, Jawa
Timur (kira-kira 13 km sebelum kota Ngawi dari arah kota Solo). Trinil
merupakan kawasan di lembah Sungai Bengawan Solo yang menjadi hunian
kehidupan purba, tepatnya zaman Plistosen Tengah, sekitar satu juta
tahun lalu.
Pada tahun 1891 Eugène Dubois, yang adalah seorang ahli anatomi
menemukan bekas manusia purba pertama di luar Eropa yaitu spesimen
manusia Jawa. Pada 1893 Dubois menemukan fosil manusia purba
Pithecanthropus erectus serta fosil hewan dan tumbuhan purba lain.
Saat ini Trinil berdiri sebuah museum yang menempati area seluas tiga
hektar, dimana koleksinya di antaranya fosil tengkorak Pithecantrophus
erectus, fosil tulang rahang bawah macan purba (Felis tigris), fosil
gading dan gigi geraham atas gajah purba (Stegodon trigonocephalus), dan
fosil tanduk banteng purba (Bibos palaeosondaicus). Situs ini dibangun
atas prakarsa dari Prof. Teuku Jacob ahli antropologi dari Universitas
Gadjah Mada.

Situs Museum Trinil dalam penelitian merupakan salah satu tempat hunian
kehidupan purba pada zaman Pleistosen Tengah, kurang lebih 1,5 juta
tahun yang lalu yang terdapat di kota Ngawi. Situs Trinil ini amat
penting sebab di situs ini selain ditemukan data manusia purba juga
menyimpan bukti konkrit tentang lingkungannya, baik flora maupun
faunanya.
Museum Trinil terletak di Jalan Raya Solo – Surabaya, Pedukuhan Pilang, Desa Kawu, Kecamatan Kedunggalar
Kabupaten Ngawi, kurang lebih 13 kilometer arah barat pusat kota
Ngawi,
dan untuk mencapai lokasi ini dapat ditempuh dengan semua jenis
kendaraan. Sayang sekali di jalan arteri yang bisa menjadi petunjuk
utama, tidak ada satupun patokan yang bisa mengarahkan kita ke Museum
tersebut. Kalau bertanya sama seseorang hanya dijawab, “ Pokoknya belok
ke gang yang ada gapura hitamnya,”. Akhirnya setelah bertanya selama
dua kali, sampailah kami di lokasi museum.
Pintu
gerbang museum yang sangat sederhana terlihat setelah masuk ke dalam 1
km dari jalan raya utama, kemudian kami melapor ke pos penjaga untuk
membayar tiket masuk. Memang luar biasa murah kalau boleh dikatakan,
bayangkan untuk melihat peradaban jutaan tahun yang lalu hanya
dikenakan biaya masuk seribu rupiah per orang. Ketika masuk ke lokasi
parkir, kesan pertama yang timbul adalah bahwa museum ini kurang
optimal perawatannya, terutama dalam hal fasilitas dan kebersihan.
Masuk ke dalam museum kami mendapati ruangan yang dipenuhi dengan
tulang-tulang manusia purba. Diantaranya adalah : fosil tengkorak
manusia purba ( Phitecantropus Erectus Cranium Karang Tengah Ngawi ),
fosil tengkorak manusia purba (Pithecantropus Erectus Cranium Trinil
Area), fosil tulng rahang bawah macan (Felis Tigris Mandi Bula Trinil
Area), fosil gigi geraham atas gajah (Stegodon Trigonocephalus Upper
Molar Trinil Area), fosil tulang paha manusia purba (Phitecantropus
Erectus Femur Trinil Area), fosil tanduk kerbau (Bubalus Palaeokerabau
Horn Trinil Area), fosil tanduk banteng (Bibos Palaeosondaicus Horn
Trinil Area) dan fosil gading gajah purba (Stegodon Trigonocephalus
Ivory Trinil Area).

Disamping
itu masih ada beberapa fosil tengkorak : Australopithecus Afrinacus
Cranium Taung Bostwana Afrika Selatan, Homo Neanderthalensis Cranium
Neander Dusseldorf Jerman dan Homo Sapiens Cranium. Selain fosil-fosil
tengkorak yang tersebut hal yang menarik lainnya adalah, adanya sebuah
tugu tempat penemuan manusia purba. Dulu tak banyak orang tahu akan
makna tugu itu, bahkan kemungkinan besar bisa rusak kalau tidak
dpelihara oleh seorang sukarelawan.
Wirodihardjo atau Wiro balung alias Sapari dari Kelurahan Kawu adalah
seorang sukarelawan yang menyadari bahwa tugu itu mempunyai makna yang
besar dan sangat berguna bagi penelitian selanjutnya. Wajar ia
berpendapat begitu, karena ia telah menyaksikan ekspedisi atau
penelitian yang dilakukan oleh ilmuwan setelah penggalian yang
dilakukan E.Dubois dan Salenka. Orang asing atau mahasiswa datang
silih berganti untuk melakukan ekspedisi yang tentunya dengan biaya
yang mahal. Oleh karena itu, sebagai putra daerah tersebut, ia merasa
ikut bertanggungjawab atas kelestarian tempat itu.
Kehadiran Wirodiharjo di Trinil sangat berarti, karena beliau menjadi
tempat untuk bertanya para pengunjung tentang fosil di Trinil. Walaupun
tempat tersebut terkenal sebagai daerah fosil, namun kenyataan waktu
itu tidak satupun fosil yang ada di Trinil. Untuk itulah ia
mengumpulkan setiap fosil yang ditemukan di sungai Bengawan Solo.
Selain itu Pak Wiro juga mendapat laporan dari penduduk sekitar bahwa
mereka menemukan fosil. Dari hari ke hari fosil yang dikumpulkan dari
tiga desa ; sebelah barat Desa Kawu, sebelah utara Desa Gemarang dan
sebelah timur Desa Ngancar bertambah banyak, atas tinjauan Kepala
Seksi Kebudayaan Depdikbud Ngawi waktu itu ( Pak Mukiyo ) ia mendapat
bantuan tiga buah almari untuk menyimpan fosil-fosil tersebut. Sejak
saat itulah Pak Wirodiharjo terkenal dengan sebutan Wiro Balung yang
berarti Pak Wiro yang suka mengumpulkan balung-balung ( tulang ).
Dan selanjutnya pada tahun 1980/1981 Pemerintah daerah setempat
mendirikan museum untuk menampung fosil-fosil tersebut yang diresmikan
oleh Bapak Gubernur Jatim “Soelarso” pada tanggal 20 Nopember 1991.
Namun sayang Wiro Balung sudah tiada sejak 1 April 1990 dan keahlian
beliau diteruskan oleh anaknya Mas Sujono ( 37 ) yang sekarang menjad
juru kunci Museum Trinil. Selain dari diorama yang ada, Mas Sujono juga
banyak memberikan keterangan tambahan kepada kami.
Diantara tambahan keterangan Mas Sujono yang sangat penting
adalah,”Bahwasannya Trinil merupakan daerah padang savanna pada masa
lampau. Kenapa ? karena adanya manusia, banteng, gajah dan hewan-hewan
yang lain yang tumbuh di satu area. Hal ini cukup menunjukkan kalau
dulu daerah ini adalah savanna. Namun kemudian setelah adanya letusan
Gunung Lawu yang berturut-turut hancurlah peradaban yang ada di Trinil
dan sekitarnya,” kata Mas Sujono dengan mimik serius. Dengan melihat
Museum Trinil suatu kearifan dapat kita tarik dari berbagai temuan
para ilmuwan tentang manusia purba. Adalah suatu kenyataan bahwa
dibalik keanekaragaman wujud kehidupan kita dewasa ini, sesungguhnya
ada kesamaan asal-usul kita seluruhnya sebagai manusia.